MITOS 6-23 Pengembangan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut meningkatkan emisi GHG lahan gambut.
FAKTA Menurut laporan Wetland International (Joosten, 2009) sekitar 90 persen lahan gambut Indonesia merupakan lahan gambut rusak (degraded peat land). Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dari berbagai penelitian ternyata menurunkan emisi GHG lahan gambut (Tabel 6.10).
Emisi GHG gambut sekunder (degraded peat land) mencapai 127 ton CO2/hektar/tahun. Dengan penanaman kelapa sawit di lahan gambut emisi GHG berkurang menjadi 55-57 ton CO2/hektar/tahun (Melling, et al., 2005, 2007). Murayama dan Bakar (1996), Hooijer (2006) menemukan angka emisi yang lebih rendah yakni 54 ton CO2/hektar/tahun. Bahkan penelitian Germer and Sauaerborn (2008) menemukan emisi GHG perkebunan kelapa sawit di lahan gambut jauh lebih rendah yakni hanya 31,4 ton CO2/hektar/tahun. Perbedaan hasil penelitian tersebut antara lain mungkin disebabkan perbedaan kedalaman dan kualitas gambut serta tata kelola perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
Hasil penelitian Sabiham (2013), menunjukkan (Tabel 6.11) bahwa stok karbon bagian atas lahan gambut makin meningkat dengan makin bertambahnya umur tanaman kelapa sawit. Pada umur dewasa stok karbon pada kebun sawit gambut bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan stok karbon hutan gambut sekunder (degraded peat land).
Berdasarkan fakta empiris di atas menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit di lahan gambut bukanlah meningkatkan emisi GHG gambut, justru sebaliknya menurunkan emisi GHG lahan gambut. Dengan demikian, pemanfaatan lahan gambut sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit yang dikelola sesuai azas-azas keberlajutan dapat mengurangi emisi GHG gambut dibandingkan dengan dibiarkan sebagai lahan gambut sekunder.
Sumber: Bab 6|Mitos dan Fakta : Indonesia dalam Isu Lingkungan Global
Related
Kelapa Sawit Industri Nasional yang Tepat
Sertifikasi Berkelanjutan ada pada Sawit
Minyak Sawit dapat memiliki peran penting sebagai sumber pangan Dunia