Isu lingkungan merupakan tema kampanye negatif yang paling banyak dilancarkan oleh LSM anti sawit untuk menyerang perkebunan kelapa sawit Indonesia. Mulai dari isu lingkungan global maupun lokal dikaitkan secara negatif terhadap perkebunan kelapa sawit. Untuk itu pada Bab ini akan disajikan dialektika antara mitos dengan fakta yang ada.
MITOS 7-01 Perkebunan kelapa sawit merupakan pemicu utama konversi hutan menjadi non hutan di Indonesia.
FAKTA Konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan (deforestasi) merupakan fenomena normal pembangunan yang terjadi disetiap negara-negara dunia (lihat Mitos 6-07, 6-08). Di kawasan Eropa deforestasi berlangsung sebelum abad ke-17. Sementara di Amerika Serikat deforestasi mulai berlangsung tahun 1620 sampai tahun 1950.
Tidak satupun negara di dunia dan termasuk di Indonesia yang melarang deforestasi tentunya dengan prosedur yang ditetapkan disetiap negara. Konversi hutan menjadi non hutan merupakan jalan untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi pembangunan. Pertumbuhan penduduk dan perluasan pembangunan disegala sektor untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk memerlukan tambahan ruang yang makin meningkat. Apakah ada daratan di bumi yang dahulunya bukan berasal dari hutan?
Di Indonesia konversi hutan menjadi non hutan sudah lama berlangsung seiring dengan kebutuhan ruang bagi pembangunan. Deforestasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan era logging yang melahirkan lahan-lahan terlantar/terdegradasi yang kemudian oleh pemerintah digunakan untuk pengembangan daerah-daerah transmigrasi maupun ekstensifikasi pertanian/perkebunan. Ekspansi perkebunan kelapa sawit datang kemudian dengan memanfaatkan lahan-lahan eks logging yang dikonversikan pemerintah menjadi kawasan budidaya.
Jika sejarah deforestasi didiskusikan, Koh dan Wilcove (2008) menyebutkan 67 persen kebun sawit adalah dari konversi hutan. Namun studi Gunarso, dkk (2012) mengungkapkan kesimpulan yang berbeda dengan tuduhan Koh dan Wilcove tersebut. Asal-usul lahan pengembangan kebun sawit di Indonesia sebagian besar berasal dari lahan pertanian dan lahan terlantar (degraded land) dan sebagian dari konversi secundary forest (Casson 2000; McMorrow & Talip 2001; Gunarso dkk, 2012). Era logging yang masif sebelum tahun 1990 telah meninggalkan daerah-daerah terlantar dan mati (ghost town). Pengembangan perkebunan kelapa sawit baru berlangsung kemudian khususnya setelah tahun 2000.
Analisis perkembangan historis konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan dikaitkan dengan perkembangan luas perkebunan sawit di Indonesia menunjukkan fakta bahwa ekspansi kebun sawit bukan pemicu (driver) utama konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan (Gambar 7.1).
Pada tahun 1950 luas hutan di Indonesia adalah 162,3 juta ha. Pada kurun waktu 1950-1985 luas konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan mencapai 68,1 juta ha, sementara perluasan perkebunan sawit pada periode yang sama hanya sekitar 0,6 juta hektar atau hanya 0,9 persen. Kemudian akumulasi konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan sampai tahun 2000 menjadi 84,4 juta ha, sehingga luas hutan menurun menjadi 103,3 juta ha. Dari total konversi tersebut, luas perkebunan sawit secara akumulatif baru mencapai 4,2 juta hektar.
Dengan kata lain selama kurun waktu 1950-2014, konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan di Indonesia secara akumulasi sebesar 99,6 juta ha. Sedangkan akumulasi luas perkebunan sawit Indonesia pada periode yang sama hanyala 10,8 juta ha. Data ini menunjukkan bahwa dari 99,6 juta hektar konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan, ekspansi perkebunan sawit Indonesia relatif kecil yakni 10,8 persen. Dengan demikian ekspansi perkebunan kelapa sawit bukanlah pemicu utama konversi kawasan hutan menjadi non hutan (deforestasi) di Indonesia.
Sumber : Bab 7| Mitos dan Fakta : Perkebunan Kelapa Sawit dan Isu Lingkungan
Related
Kelapa Sawit Industri Nasional yang Tepat
Sertifikasi Berkelanjutan ada pada Sawit
Minyak Sawit dapat memiliki peran penting sebagai sumber pangan Dunia